Mata Kuliah
Hukum Acara Perdata adalah sebuah mata kuliah yang sangat spesifikasi untuk
bidang acara perdata, khususnya mengenai hukum beracara. Kali ini saya akan
coba memposting mengenai ringkasan mata kuliah hukum acara perdata.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian
Hukum Acara Perdata
Sebagai bagian
dari hokum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai
ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara
perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan
ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum
acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata
materil.
Adapun beberapa
pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum diantaranya:
a. Prof. Dr.
Wirjono Prodjodikoro, SH
Beliau
mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan
cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
b. Prof. Dr.
Sudikno Mertukusumo, SH
Member batasan
hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan
perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan
bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit
lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada
putusannya.
c. Prof. Dr. R.
Supomo, SH
Dengan tanpa
memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin
menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan
tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh
hukum dalam suatu perkara.
Berdasarkan
pengertian –pengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak
kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara
perdata adalah :
1. Peraturan
hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan
perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara
perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain,
kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan.
2. Peraturan
hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim
mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus
mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping
itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada
peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai
ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum)
3. Peraturan
hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata.
4. Peraturan
hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim
(Eksekusi)
1.2
Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata.
Dalam praktek
peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat
pada berbagai peraturan perundang-undangan.
a. HIR (Het
Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
b. RBg (Reglemen
Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277
c. Rv (Reglemen
Hukum Acara Perdata Untuk golongan Eropa) Staatblad No 52 Jo Staatblad 1849
No.63. namun sekarang ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi ketentuan hukum
acara perdata khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan
dengan mereka dimuka (Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Tetapi Raad Van
Justitie telah dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam
praktek peradilan saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti
(pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) serta mahkamah agung RI tetap
dipergunakan dan dipertahankan. Mis : Ketentuan tentang Uang paksa(dwangsom) dan
intervensi gugatan perdata.
d. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
e.
Undang-Undang.
1. UU No.4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. UU No.5 Tahun
2004 Tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang hukum acara kasasi
3. UU No.8
Tahuun 2004 Tentang Peradilan Umum.
4. UU No.3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama.
5. UU No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya.
6. UU No.2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
1.3 Asas-Asas
Hukum Acara Perdata Indonesia
Bertitik tolak
kepada praktek peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas
umum hukum acara perdata Indonesia yaitu:
a. Peradilan
yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak)
Peradilan yang
terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata.
Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa
“persidangan terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.
(Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup
untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan
batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
b. Hakim
bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter)
Dalam asas ini
terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang
artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim
yang mengadili perkara bersangkutan.
c. Mendengar
Kedua belah pihak.
d. Pemeriksaan
dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties)
e. Pengawasan
Putusan Lewat Kasasi.
f. Peradilan
dengan membayar biaya.
Peradilan
perkara perdata pada asanya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5
Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194
RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara
Cuma-Cuma (Pro Deo).
1.4 Susunan
Badan Peradilan di Indonesia.
Menurut UUD 1945
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan
di Indonesia terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat
lingkungan peradilan di Indonesia yaitu :
a. Peradilan
Umum (UU No 8 Tahun 2004)
b. Peradilan
Agama (UU No 3 Tahun 2006)
Dalam perdalilan
agama membawahi Pengadilan Agama Neger
c. Peradilan
Militer (UU No 31 Tahun 1997)
d. Peradilan
Tata Usaha Negara (UU No 9 Tahun 2004)
Keempat badan
peradilan tersebut kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11
(1) UU No 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi
dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya
pada ayat dua (2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah :
a. Mengadili
pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan dimana semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah
Agung.
b. Menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. Kewenangan
lain yang diberikan undang-undang.
Peradilan umum
adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun
pidana yang dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam
peradilan umum diberntuk beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan
pengadilan negeri yaitu :
1. Pengadilan
niaga (pasal 280 UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan)
2. Pengadilan
anak (pasal 2 UU No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak)
3. Pengadilan
hak asasi manusia (pasal 2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM)
4. Pengadilan
tindak pidana korupsi
5. Pengadilan
hubungan industrial (pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian
Perselisihan hubungan industrial.)
6. Pengadilan
perikanan.
Peradilan Agama,
Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili
perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3
Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas
sebagaimana diatur dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan
berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syari’ah.
BAB II
PEMBERIAN KUASA (LASTGEVING)
2.1 Pemberian
Kuasa (Lastgeving)
A. Pengertian
Kuasa.
Secara Umum,
surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam BAB ke enambelas, buku
III KUHPerdata tentang perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk
pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami arti
dari pengertian kuasa secara umum dapat dirujuk pada pasal 1792 KUHPerdta yang
berbunyi “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan”
Bertitik tolak
dari pasal 1792 KUHPerdata tersebut diatas, dalam perjanjian kuasa terdapat dua
pihak terdiri dari :
a. Pemberi kuasa
atau letsgever (Instruction, Mandate)
b. Penerima
kuasa yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama
pemberi kuasa.
B. Berakhirnya
Kuasa
Berdasarkan
pasal 1813 KUHPerdata, hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa adalah
sebagai berikut :
1. Pemberi kuasa
menarik kembaliu secara sepihak.
Ketentuan
pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam pasal
1814 KUHPerdata dengan acuan. :
a. Pencabutan
tanpa melakuakan persetujuan dari penerima kuasa
b. Pencabutan
dapat dilakuakan secara tegas dalam bentuk mencabut secara tegas dan tertulis
atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa.
c. Pencabutan
secara diam-diam berdasarkan pasal 1816 KUHPerdata.
2. Salah satu
puhak meninggal dunia
Dengan
sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum.
3. Penerima
kuasa melepas kuasa.
Pasal 1817
KUHPerdata member hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepas kuasa yang
diterimanya dengan syarat :
a. Hsarus
memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa
b. Pelepasan tidak
boleh dilakuakan pada saat yang tidak layak. Ukuran tentang hal ini didasarkan
pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada
pemberi kuasa.
C. Jenis-Jenis
Kuasa.
1. Kuasa Umum
(pasal 1795 KUHPerdata)
2. Kuasa khusus (pasal
1795 KUHPerdata)
3. Kuasa
Istimewa (pasal 1796 KUHPerdata)
4. Kuasa
perantara (pasal 1792 KUHPerdata dan pasal 62 KUHD)
D. Kuasa Menurut
Hukum
Kuasa menurut
hukum disebut juga Wettelijke Vertegnwoording atau Legal Mandatory. Maksudnya
undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan
sendirinya bertindak mewakili. Beberapa kuasa hukum adalah sebagai berikut :
1) Wali terhadap
anak dibawah umur (pasal 51 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
2) Curator atas
orang tidak waras.
3) Orang tua
terhadap anak yang belum dewasa (pasal 45 (2) UU No 1 Tahun 1974
4) BPH sebagai
curator kepailitan
5) Direksi atau
pengurus badan hukum
6) Direksi
perusahaan persoroan (persero)
7) Pimpinan
perwakilan perusahaan asing
8) Pimpinan
cabang perusahaan domestic.
Sampaikanlah Walau Satu Ayat.....!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar