Mencari sesuatu yang lebih baik atau yang terbaik bukanlah satu hal
yang dilarang di dalam ajaran agama Islam. Justru Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk senantiasa menjadi yang terbaik dan memberikan
hasil yang terbaik. Namun, memberi atau mencari sesuatu yang lebih baik
atau yang terbaik tentunya tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang
tidak sesuai dengan syariat Islam, terlebih lagi dengan cara-cara yang
bertentangan dengan syariat Islam.
Menikah merupakan salah satu fenomena yang senantiasa diharapkan oleh
setiap manusia yang berakal dan berjiwa sehat. Menikah merupakan salah
satu di antara dua jalan terbaik yang diajarkan di dalam Islam untuk
menanggulangi bahaya hawa nafsu, yaitu nafsu biologis atau nafsu
syahwat. Jalan lainnya yang diajarkan di dalam ajaran Islam adalah
dengan melakukan puasa (shaum). Tidak ada jalan lain yang lebih baik
dalam pandangan Islam untuk melindungi diri dari fitnah nafsu syahwat.
Nafsu syahwat merupakan salah satu musuh manusia yang paling berat.
Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada umatnya yang telah memiliki
kemampuan untuk menikah agar segera menikah, tidak menunda-nundanya.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN
MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya)
dan Maha Mengetahui.” (An Nuur 32)
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu
untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih
dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang
siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya
puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)
“Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah
hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih
terpelihara” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)
“Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda : Barang siapa mau
bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih lagi suci, maka kawinkanlah
dengan perempuan terhormat” (HR. Ibnu Majah,dhaif)
“Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih
sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak,
meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka” (Al Hadits)
“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi)
“Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak.
Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak” (HR. Abu Dawud)
“Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan
perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya
jumlahmu di tengah umat yang lain” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi)
Demikian vitalnya hikmah, manfaat dan maslahat yang dapat diperoleh
dari nikah, hingga Rasulullah saw pun mencela orang-orang yang tidak mau
menikah (membujang tanpa adanya alasan yang syar’i). Melalui beberapa
sabdanya, Rasulullah saw mengatakan:
“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
“Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari)
“Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup
membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian
orang yang memilih hidup membujang” (HR. Abu Yahya dan Thabrani)
Islam adalah agama yang mudah, yang memberikan kemudahan kepada
seluruh umatnya. Sehingga ketika ada peraturan yang diberikan oleh Allah
swt melalui ajaran Islam, maka peraturan itu tidak akan bersifat
memberatkan, terlebih lagi jika aturan atau perintah yang diberikan
tersebut memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting bagi umat-Nya.
Ketika Allah swt menetapkan bahwa nikah adalah salah satu dari dua
jalan keluar yang diajarkan di dalam Islam untuk melawan serangan hawa
nafsu maka Allah swt pun telah turut memberikan kemudahan kepada
umat-Nya untuk menikah.
Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah akad nikah oleh
seorang laki-laki sebagai penghalal hubungan suami istri adalah harus
memberikan mahar kepada calon istri. Tanpa adanya mahar, maka keduanya
belum halal atau pernikahannya belum dikatakan sah. Maka dalam hal ini
Allah swt melalui ajaran Islam memberikan kemudahan kepada pihak
laki-laki berupa kemurahan nilai mahar. Islam mengajarkan kepada umat
muslimah untuk tidak meninggikan atau mensyaratkan mahar yang bernilai
tinggi, yang akan berakibat menyulitkan pihak laki-laki atau pernikahan
itu sendiri. Berikut sabda Rasulullah saw mengenai perintah untuk
merendahkan nilai mahar kepada wanita.
“Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)
“Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya.” (HR. Ashhabus Sunan)
Dalam hal ini, Allah swt juga telah berfirman, yang artinya:
“Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” ( An Nisaa : 4)
Merujuk pada urgensi nikah yang telah dipaparkan di atas, maka memang
tidak ada salahnya jika akhirnya banyak orang selalu mengawali
pelaksanaan akad nikah mereka dengan kesibukan mencari hari baik.
Tidak ada salahnya untuk mecari haik, namun pada dasarnya Islam tidak
mengajarkan hal ini. Karena dalam kacamata Islam, seluruh hari adalah
baik, tidak ada hari yang buruk, terlebih lagi hari yang dapat
memberikan keburukan atau malapetaka. Tidak ada dalil yang secara jelas
dan detail di dalam ajaran Islam baik dalam bentuk firman Allah swt
maupun hadits Rasulullah saw. Islam juga tidak mengajarkan kepada
umatnya untuk mencari hari baik dalam melangsungkan akad nikah atau
pernikahan.
Kenapa pada artikel sebelumnya (Pernikahan: Mencari Hari Baik), penulis lebih memfokuskan permasalahan pada praktek perdukunan atau peramalan?
Karena, praktek itulah yang saat ini banyak sekali dan masih
berkembang di dalam kehidupan umat muslim. Sekali lagi penulis
mengatakan bahwa tidak ada salahnya untuk seseorang mencari yang terbaik
atau lebih baik. Namun, ketika cara yang dilakukan itu mengarah pada
pertentangan terhadap syariat Islam, maka tentu saja hukumnya adalah
haram. Dan itulah yang saat ini banyak terjadi di dalam kehidupan umat
Islam. Mereka harus mendatangi orangtua atau orang pintar untuk mencari
hari baik, untuk pelaksanaan akad nikah. Orang pintar atau orang tua
itulah yang secara tidak langsung, mau atau tidak mau dalam kacamata
Islam akan mendapat sebutan sebagai dukun atau paranormal (yang tentu
saja diharamkan).
Seseorang
yang disebut sebagai orang tua atau orang pintar tadi akan
menghitung-hitung atau meramalkan hari baik untuk calon pengantin yang
biasanya melalui tanggal lahir kedua calon kedua pengantin. Kemudian, si
orang tua atau orang pintar akan mengatakan “Pernikahannya harus dilaksanakan pada hari ini atau ini, bulan ini atau bulan ini”.
Jika dilaksanakan pada hari atau bulan selain yang telah ditunjukkan
oleh orang pintar atau orang tua itu maka akan terjadi musibah pada
kedua pengantin atau kepada keluarga pengantin, berupa kematian,
rezekinya seret, dan lain-lain. Tentu saja hal ini sangat jelas
menggambarkan bentuk kesyirikan.
Lepas dari pembahasan mencari hari baik sebagai bentuk perdukunan (karena telah dibahas pada artikel yang lalu “Pernikahan: Mencari Hari Baik”),
di sini penulis akan sedikit memberikan gambaran bagaimana menentukan
hari yang baik, yang tentunya tidak bertentangan dengan syariat Islam,
terlebih lagi mengarah kepada perdukunan atau kemusyrikan.
Sebelumnya, penulis kembali mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada
dalil yang secara jelas dan detail yang mengatur mengenai hari yang
tepat atau hari baik untuk melakukan akad nikah. Dengan demikian, tidak
ada pula ajaran untuk mencari hari baik di dalam Islam. Karena, pada
dasarnya semua hari itu adalah baik, semuanya telah diciptakan oleh
Allah swt. Namun, sebagai umat Islam kita memiliki seorang suri tauladan
terbaik yang bisa dijadikan panutan dalam menjalani seluruh aspek
kehidupan. Kita memiliki Rasulullah Muhammad saw yang merupakan suri
tauladan yang terbaik, Uswatun Hasanah bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi umat muslim itu sendiri.
Memang benar bahwa Rasulullah saw juga tidak pernah mengeluarkan
sabda yang mengajarkan atau memerintahkan umatnya untuk memilih hari
tertentu untuk melaksanakan akad nikah. Namun sebagai suri tauladan yang
terbaik, hanya dialah yang patut kita jadikan panutan. Demikian pula
mengenai masalah hari baik untuk akad nikah ini, sudah sepatutnyalah
kita mengikuti jejak beliau Rasulullah saw. Karena sesuai perintah Allah
swt di dalam Al Quran yang memerintahkan kepada kita untuk mengikuti
Rasulullah saw, yang merupakan salah satu tanda cinta kepada Allah swt.
Allah swt berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imraan: 31)
Demikianlah Allah swt memerintahkan umatnya untuk senantiasa
mengikuti Rasulullah saw. Berdasarkan firman Allah swt tersebut di atas,
maka sudah sepatutnyalah kita mengikuti beliau juga dalam menentukan
hari atau waktu untuk akad nikah.
Dalam hal ini sederhana saja, bahwa Rasulllah saw telah menikahi
beberapa dari istri beliau pada bulan yang sama, yaitu jatuh pada bulan
Syawal. Dan jika kita menginginkan hari yang baik maka ikutilah jejak
beliau, yaitu menikah pada bulan Syawal. Meskipun kita tidak tahu dengan
pasti apa hikmah menikah di bulan Syawal yang telah dilakukan oleh
Rasulullah saw, namun Insya Allah itulah jalan terbaik yang diridhai
oleh Allah swt. Dan dengan mengikuti jejak Rasulullah saw ini, yang
pasti akan menghindarkan kita dari perkara musyrik.
Anehnya, banyak dari umat muslim itu sendiri yang menganggap bulan
Syawal sebagai salah satu bulan yang tidak baik untuk melangsungkan
pernikahan. Padahal, Rasulullah saw sendiri pun telah menikah pada bulan
Syawal beberapa kali (dengan beberapa istri beliau yang salah satunya
adalah Aisyah binti Abu Bakar RA).
Anggapan atau mitos tersebut hingga kini masih terus berkembang di
dalam kehidupan umat muslim. Mereka terus melanggengkan anggapan yang
tidak ada dalilnya sama sekali di dalam ajaran Islam. Di sini tentu saja
mereka telah terjatuh pada perkara yang telah disebutkan di dalam Al
Quran sebagai berikut:
“Mereka menjawab: ‘(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.’” (QS. Asy Syu’araa: 74)
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami.’ ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?’” (QS. Al Baqarah: 170)
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ Mereka menjawab: ‘Cukuplah untuk
kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah
mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Maidah: 104)
Na’udzubillah! Semoga kita dapat terhindar dari perkara tersebut.
Di sini penulis mengakhiri dengan “wa tawaa shaubilhaq wa tawa shaubishshabri”.
Marilah ilmu yang sekelumit ini kita aplikasikan mulai dari diri dan
keluarga kita. Mari kita tuntun kelaurga kita menuju Islam yang
seutuhnya.
Sampaikanlah Walau Satu Ayat..!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar